3/01/2013

Bahasa Daerah Yang Terpinggirkan



Helmy Her Onassis - Pada beberapa tahun yang lalu ketika masih bekerja di media public local, mendapatkan tugas untuk sebuah program acara radio, program yang mengusung nilai – nilai budaya kearifan local di kota saya Pekalongan yang telah di cap sebagai kota batik dunia.
Bukan membahas masalah batik, tetapi tentang budaya kearifan local yang terkikis oleh jaman, khususnya bahasa daerah “Bahasa Pekalongan”, ketika saya mencari data dari beberapa narasumber yang lebih ditujukan kepada siswa SMA, alangkah terkejut dan miris melihat kenyataan yang terjadi.
Bagaimana tidak, ketika saya interview dengan 20 siswa dari SMA tersebut, 13 dari siswa yang saya wawancarai  tentang bahasa apa yang mereka pakai sehari – hari di rumah atau di lingkungan, mereka menjawab menggunakan bahasa Indonesia, 4 siswa menggunakan bahasa campuran bahasa Indonesia dan bahasa jawa pekalongan, sisanya masih menggunakan bahasa pekalongan dalam kesehariannya.  Bahkan ketika saya ajak berbicara dengan bahasa jawa pekalongan beberapa siswa tersebut sedikit kebingungan, hal tersebut membuat saya semakin merasa sedih, apakah jadinya kota ini jika kebudayaan local hilang.
Bukan bermaksud untuk melecehkan atau merendahkan bahasa Indonesia sebagi bahasa nasional, tetapi menurut saya bahasa local juga sangatlah penting, idealnya setiap masyarakat di Indonesia bisa berbicara dengan dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa daerah masing – masing.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih memang  seperti pisau dengan mata terbalik, di satu sisi mempunyai nilai positif, namun disisi lain mempunyai sisi negative. Mereka cenderung malu dengan budaya nya sendiri, budaya dari barat yang mereka anggap sebagai trend akan menjadikan mereka di cap sebagai predikat anak gaul dengan mengkesampingkan budaya sendiri.
Apalagi setelah saya mencari – cari di google, UNESCO menyebutkan setidaknya ada 12 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah yakni Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, Tandia, Te’un, Tobada. Sungguh sangat ironis.
Saya berfikir apakah karena pengaruh budaya barat atau rasa nasionalis yang semakin menipis ? menyikapi hal tersebut alangkah lebih baik nya pendidikan budaya local diterapkan di lingkungan terkecil kita yaitu keluarga, tidak perlu muluk – muluk untuk skala yang besar, kita mulai saja dari diri sendiri dan dari lingkup keluarga. Jika kita tidak melestarikan budaya kita, siapa lagi yang akan melestarikan nya ?
Bangsa yang besar adalah bangsa yang masyarakatnya masih memegang teguh budaya kearifan local. Siapa pun anda, dari mana anda, lestarikan bahasa daerah anda masing – masing. Saya tidak pernah malu mengatakan “Aku wong kalongan” (saya orang pekalongan). –  Helmy Her Onassis.

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 01:20 Kategori:

2 komentar:

  1. Anonymous3/01/2013

    Sangat Ironis Memang Dengan Bahasa Local Kita . . . . . .

    Bahkan Anak AnakSekarang Yang Baru Lahir Dari Sang Rahim Ibu Juga Udah Diajarin Bahasa Indonesia . . . .

    Dimana Sebenernya Kecintaan & Kesetiaan Kita Pada Tumpah Darah Kita ( Daerah Kita Lahir ) . . . . .

    Dimana Semua Rasa Itu . . . . .
    Apa ( Mungkin ) Kita Akan Melupakan Tempat Dimana Ari - Ari Kita Tertanam . . . . ? ? ? ? ?

    ReplyDelete
  2. terimakasih gan, memang itu yang menjadi keprihatinan kita semua. begitu menakutkan jika suatu saat kita harus belajar kebudayaan sendiri ke negara lain. ironis

    ReplyDelete