Helmy Her Onassis - Batik, apa
yang anda pikirkan ketika mendengar kata tersebut ? Seni, Asli Indonesia, Warisan
Budaya Tak Benda Indonesia UNESCO. Yah memang Batik begitu mendunia setelah
UNESCO mengukuhakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Milik Indonesia, tidak
tanggung – tanggung BATIK menempati kasta tertinggi dari warisan budaya tak
benda yang dikeluarkan UNESCO karena memenuhi 3 dari 5 kriteria penilaian,
sedangkan Borobudur memenuhi 2 kriteria.
Dari booming nya batik tersebut,
banyak sekali yang memanfaatkan moment untuk ikut berkecimpung dalam dunia
Batik, para juragan – juragan batik memperoleh keuntungan secara financial yang
cukup membuat kita tertegun, mereka berinovasi menghasilkan karya yang bernilai
seni tinggi dengan semua filosofi nya, menurut saya pantas jika semua itu
dihargai dengan harga yang sangat tinggi.
Namun taukah anda bagaimana
proses membuat karya seni batik itu sendiri ? proses panjang yang dilakukan dan
melibatkan banyak pekerja, dari mulai Njaplak, Nyungging, Nyanting, Mopok,
Ngelir, Nglorod dan lain -lain, semua
itu memakan tenaga dan proses yang lama.
Dari tingginya nilai karya seni
itu sendiri, pernahkan anda memikirkan berapa uang yang di dapat para pekerja
nya ? dari sebagian besar pekerja tersebut jangan anda pikir mereka mendapatkan
bayaran yang sangat tinggi, menurut saya bisa dikatakan pas – pas an untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari. Begitu kontras antara juragan dengan para
pekerja atau kuli – kuli nya.
Berbagai langkah dilakukan untuk
melestarikan kebudayaan tersebut, tapi kembali lagi mereka para pekerja yang
menekuni bidang tersebut, berfikir realistis saja, mereka membutuhkan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari – hari.
Sudah jatuh tertimpa tangga,
mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupan para pekerja,
serangan kain textile motif batik atau yang biasa disebut sablon dan printing
menjadi saingan konsumsi batik tulis atau cap, dan celakanya sebagian besar
masyarakat tidak tahu bagaimana membedakan antara batik tulis, cap atau textile
motif batik (sablon). Dengan serangan yang bertubi – tubi tersebut otomatis
berimbas kepada para pekerja, karena jika juragan mereka omset nya berkurang
otomatis pendapatan para pekerja tersebut juga berkurang.
Tidak hanya berdiam diri,
pemerintah juga memberikan solusi dengan melabelisasi produk batik, mana yang
benar – benar batik atau sablon, sampai membuat pasar grosir yang
memfilterisasi produk yang bisa masuk hanya batik tulis dan cap, namun itu juga
tidak sepenuhnya berhasil.
Menurut saya kembali lagi kepada
masyarakat yang menjadi konsumen, mereka harus pandai – pandai melihat produk,
jika memang cinta dengan budaya dan seni batik maka harga tinggi bukan lah
menjadi masalah dibandingkan dengan membeli kain textile motif batik yang jauh
lebih murah. Karena dari situlah para pekerja atau kuli – kuli tersebut bisa
mendapatkan uang untuk kebutuhan mereka.
Batik itu mahal, jika dilihat
dari seni nya menurut saya itu tidak mahal, kembali lagi kita berfikir
realistis berapa pendapatan kita, tentu bukan seperti para pejabat – pejabat yang
bisa membeli kain batik seharga 10 juta bahkan lebih untuk selembar kain atau
kemeja, tetapi masih ada batik dengan nilai ekonomis seperti batik cap misalnya
yang lebih terjangkau, atau batik tulis kalau kata orang pekalongan “Batik
Tulis Kasaran” yang harganya masih terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah.
Dengan membeli Batik Tulis dan Cap akan
menyelamatkan budaya kita. - Helmy Her Onassis
0 komentar:
Post a Comment